Senin, 27 Juni 2011

ANAK-ANAK KITA......

Sungguh menjadi kebanggaan dan kepuasan batin orang tua, ketika melihat anak-anak rajin datang ke masjid. Mereka adalah tunas-tunas yang akan menggantikan kita kelak, sehingga seandainya sejak anak-anak sudah mulai ditanamkan rajin sholat di masjid, insya Alloh kelak hatinya juga akan terpaut dengan masjid, yang merupakan salah satu dari golongan yang akan diselamatkan Alloh di hari Qiyamat nanti.
Islam menganjurkan agar anak-anak kita diajarkan sholat sejak usia 7 tahun. Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perintahkan anak-anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun. Dan pukullah pada usia 10 tahun. Dan pisahkan mereka (anak laki dan perempuan) pada tempat tidurnya." (HR Abu Daud)

Tentu ini dimaksudkan sebagai latihan agar kelak mereka akan lebih mudah dan terbiasa untuk menjalankan sholat lima waktu. Sebagaimana kita kita ketahui, bahwa sholat lima waktu sangat dianjurkan (sunnah mu’akkad) untuk dilaksanakan di masjid, bahkan ada yang mengatakan wajib hukumnya bagi laki-laki.

Banyaknya anak-anak yang sholat berjamaah dan mengaji di Masjid Al Ghaniy sungguh menjadi pemandangan yang sangat menyejukkan mata dan hati kita dikala orang tua mereka tidak bisa ikut berjamaah di masjid karena kesibukannya. Akan tetapi juga harus diperhatikan bahwa sholat di masjid memiliki adab dan etika yang harus dipatuhi oleh kita semua. Sudah menjadi watak dan kebiasaan anak-anak, pada waktu sholat mereka suka bersenda gurau dan sering berlari kesana-kemari, ngobrol, bahkan kadang menunda sholat saat Imam mulai sholat hanya untuk bermain air di tempat wudu dan sebagainya. Dan bila hal ini terus terjadi, tentu bisa mengganggu kekhusuan sholat berjamaah di masjid. Tanggung jawab siapakah ini? Tentu tanggung jawab kita bersama.

Memang benar bahwa cucu Nabi saw yaitu Hasan dan Husain pernah sesekali mengganggu sholat Nabi, tetapi itu bukan alasan untuk selalu membiarkan anak-anak kita beramai ria saat sholat sedang dilaksanakan tanpa kita berikan nasihat ataupun bimbingan. Dan tentu sesuatu yang juga salah, jika kita melarang anak-anak untuk ikut sholat berjamaah di Masjid, yang akan menjauhkan mereka dari sifat orang yang hatinya terpaut dengan Masjid.

Salah satu yang harus kita lakukan sebagai seorang bapak yang mampu meluangkan waktunya adalah marilah kita ajak dan dampingi anak kita ke masjid jangan sampai kita kalah oleh anak-anak yang masih lucu-lucu, dan harus senantiasa diingatkan agar mereka tidak mengganggu kekhusuan sholat jamaah, atau bagi kita yang tidak memiliki cukup waktu luang atau bagi ibu, untuk tetap mendukung anaknya ke masjid, dengan tidak lupa untuk terus mengingatkan dan menasehati, bahwa masjid bukanlah tempat untuk bermain dan bercanda serta mengikhlaskan anak-anak kita untuk dididik dan diingatkan kembali oleh jamaah yang kebetulan hadir di Masjid. Tidak lain dan tidak bukan, karena mereka yang ke masjid adalah anak-anak kita juga.

Semoga anak-anak kita menjadi generasi yang tidak lalai melaksanakan sholat, dan “qolbuhu mu’allaqun fil masaajid”, hatinya senantiasa teringat pada masjid. @amienz-red

Sabtu, 29 Januari 2011

ekspansi kebaikan... [memakmurkan masjid kita]

Masjid kita semakin luas, mestinya jamaah juga semakin banyak.... terfikir untuk memetakan jama'ah berdasar semua segmen; agar bisa dikelola dengan lebih baik potensinya.

1. Bapak-bapak, [alhamdulillah sudah ada pengajian rutin di Blok A; dan akan segera dirutinkan di Blok F]
2. Ibu-ibu, sudah banyak majelis taklim... dan sudah cukup efektif.
3. Remaja, telah terbentuk RISMA - tinggal dibina.
4. Anak-anak, ustadz Ajad udah ngumpulin mereka rutin ba'da maghrib...
5. Lainnya: jamaah badminton [Tumiro], jamaah futsaler, jamaah fesbukiyah... dll

Jika bisa dibentuk penanggung jawab di masing-masing segmen, kita bisa evaluasi secara berkala. Targetnya tentu, setiap segmen itu menjadi selokan-selokan kecil yang bermuara di masjid tercinta kita "Masjid Al-Ghanniy".

Wallohu a'lam.

Jumat, 07 Januari 2011

Khoirunnasi anfa'uhum linnaas...

Diriwayatkan dari Jabir, Rosulillah bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”. (HR. Tabhrani dan Daruquthni. Dishahih kan al-Albani dalam “Ash-Shahihah”)

Rasanya kita semua yakin betul atas kebenaran hadits di atas. Namun terkadang kita masih terjebak dalam perasaan "sakit hati", atau "tersinggung" saat ada orang lain memanfaatkan kita. Lho, padahal dengan dimanfaatkan orang lain berarti kita menjadi semakin baik....

Terkadang kita berdalih bahwa, dimanfaatkan kan berbeda dengan bermanfaat... hehe, entah lah. Namun mungkin saja, berbagai permasalahan kita itu timbul dari rasa "berhitung" atas nilai manfaat kita terhadap orang lain. Contoh, saat kita menolong orang lain, dan orang yang kita tolong itu terlihat [terkesan] tidak berterima kasih terhadap kita... kita lalu sakit hati. Kita merasa, bahwa kita sedang dimanfaatin. Dan yang lebih parah, kita terjebak pada perasaan menyesal telah memberi pertolongan... hiks, na'udzubillahi min dzalik! bisa-bisa musnah sudah pahala yang perlahan-lahan kita kumpulkan, terserak, tersapu ombak "pamrih" yang didorong oleh penilaian terlalu tinggi terhadap diri kita. hiks!...

Jika mau berbincang lebih jauh, ternyata konsep berharap bermanfaat untuk orang lain, tanpa peduli penilaian orang lain terhadap diri kita inilah yang seringkali tanpa sengaja kita sebut sebagai "kepahlawanan". Dan kepahlawanan inilah yang diharapkan bisa menyelesaikan berbagai macam krisis yang melanda bangsa ini.

Terbayang jika, setiap kita sibuk lakukan sesuatu, dengan tidak berharap untuk dapatkan sesuatu [kecuali pahala tentunya, jika pahala masuk dalam batasan ini kita secara tidak langsung akan terbawa dalam pembahasan bab tasawuf]. Masyarakat yang terwujud adalah, masyarakat yang penuh pengorbanan, berlomba-lomba tunaikan kewajiban, dengan memberikan hak-hak orang lain. Tidak perlu lagi ada demonstrasi yang menuntut hak, karena seluruh hak telah terpenuhi, atau jika pun belum, masyarakat tersebut tidak fokus pada tuntutan hak, karena mereka fokus pada kewajiban, mereka fokus pada apa yang bisa dikorbankan, bukan fokus pada apa yang akan mereka dapatkan. Masyarakat dalam mimpiku ini selalu sibuk memikirkan kebutuhan orang lain, namun kebutuhan mereka pun terpenuhi oleh orang lain, karena mereka saling berbagi beban. hmmm.... indah sekali rasanya...

Jumat, 17 September 2010

energi "saling memaafkan" di hari fitri...

Kata "maaf" itu adalah sumber energi. Energi bagi kedua belah pihak, baik yang mendapatkan maaf, maupun yang memberikan maaf. Mengapa demikian? Mari kita lihat.....

Seorang yang mendapatkan maaf dari seseorang, adalah serupa terangkatnya beban yang selama ini mengganjal. Ia akan menjadi lebih "ringan", karena ada kelegaan dalam hatinya. Ia menjadi lebih bebas, bisa jadi ia akan lebih bersemangat dalam menjalani hidupnya. Tiba-tiba saja ia menjadi "tercerahkan". Lalu lahir "solusi" atas masalah2 yang ia hadapi, yang selama ini "mumpet" karena terhalang "perasaan bersalah". Inilah luar biasanya mendapatkan maaf dari orang lain.

Demikian hal-nya, bagi orang yang memberikan maaf. Sedetik setelah, kalimat "aku memaafkanmu." atau gerak hati yang merelakan, memaafkan kesalahan orang lain, maka saat itu juga jiwa terasa lebih luas. Karena ia sedang membuang beban dalam dadanya... beban itu bernama kesal, benci, sakit hati, dendam, cemburu, dan banyak rasa2 lain yang lahir dari kesalahan orang lain yang menimpa diri kita.... Dengan kata "maaf", penyakit2 hati itu terangkat; seperti kuman yang terusir oleh antibiotik bernama "maaf".

Jadi wajar, jika di hari raya ini... saat begitu banyak kata "maaf" berhamburan... saat begitu banyak hati saling memaafkan, senyum yang rido, tatapan mata yang memahami sisi kemanusiaan orang lain, dan melantunkan kata "maaf" ke seluruh penjuru bumi... lihat saja di beranda facebook kita, sms, di masjid, di halaman rumah kita, di telepon, di radio, di Tivi.... maka terasa energi yang dahsyat itu memenuhi rongga jiwa kita. Kita menjadi begitu bahagia. Penuh inspirasi, bahkan kadang menjadi begitu melo dengan menitikkan air mata saking bahagianya....

Ini adalah gelombang energi "saling memaafkan".

Mari kita canangkan, hari2 yang penuh kata maaf. Pastikan kita dalam barisan ummat yang penuh semangat "saling memaafkan" tersebut, dan biarkan energi dahsyat itu membenamkan jiwa kita; dan bergetar hati kita, penuh rasa bangga dan bahagia. Wallohu a'lam.

http://nugrohoputu.blogspot.com/2010/09/energi-saling-memaafkan-di-hari-fitri.html

Jumat, 03 September 2010

Pesan untuk para MUDIKERS... dari Presiden DKM Al-Ghanniy

Ust. Amin Mansyur dalam ceramah tarawehnya di malam ke-25 Ramadhan 1431 H, di masjid Al-Ghanniy, antara lain mengingatkan kepada para "mudikers"; dengan menukil hadist yang merupakan nasehat Rasulullah SAW kepada Abu Zar dan Muaz bin Jabbal:

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan tadi dan pergaulilah para manusia dengan budi pekerti yang bagus.”
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.


Ada tiga hal:
1. Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada;
2. ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan tadi;
3. pergaulilah para manusia dengan budi pekerti yang bagus.

Ketiga pesan ini menjadi amanah dari Presiden DKM Al-Ghanniy, kepada pada jamaah yang akan mudik, agar semangat Ramadhan kita, atau hasil belajar kita di sekolah Ramadhan 1431 H di Masjid tercinta Al-Ghanniy dapat dirasakan oleh saudara-saudara kita di kampung sana. Semoga Allah selalu berikan perlindungan dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Jumat, 27 Agustus 2010

I'TIKAF (bahasan utama buletin terbaru kita)

Definisi
Secara Bahasa (Lughah): “mengikuti, mengiringi, membiasakan, menetapi (Lihat Imam
Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/244. Mawqi‟ Ruh Al Islam) Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: “I‟tikaf adalah menetapi sesuatu dan menutup diri, dalam hal baik atau buruk” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Secara Istilah (Syara‟): “menetap dalam rangka taat secara khusus dengan syarat khusus pula” (Fathl Qadir, 1/245). Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: Yang dimaksud I‟tikaf di sini adalah menetapi masjid dan menegakkan shalat di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah „Azza wa Jalla. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Dasar Hukum
- Al Quran ; “Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I‟tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)
- As Sunnah ; Dari „Aisyah Radiallahu „Anha: “Bahwasanya Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam beri‟tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I‟tikaf setelah itu”(HR. Bukhari dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu „Anhu, katanya : “Dahulu Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam I‟tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I‟tikaf 20 hari”(HR. Bukhari No. 694 dan lainnya)
- Ijma‟ ; Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma‟ tentang syariat I‟tikaf:
“Ulama telah ijma‟ bahwa I‟tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam beri‟tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat”. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Hukumnya
Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I‟tikaf karena nazar. Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan : “Telah terjadi ijma‟ bahwa I‟tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid”. (Fathul Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri‟tikaf, maka wajib baginya beri‟tikaf.
Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan :” Dalam shahih Bukhari disebutkan “Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah,1/475)

I’tikaf Kaum Wanita
Dari „Aisyah Radiallahu „Anha : “Bahwasanya Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam beri‟tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I‟tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026 dan lainnya) Syaikh Al Albani Rahimahullah mengomentari hadits ini : “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya I‟tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil maslahat. (Maktabah Islamiyah)
Selain itu, hendaknya wanita I‟tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi mereka.
Berkata Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
“Jika wanita I‟tikaf di masjid, dianjurkan dia membuat penutup dengan sesuatu, karena
para isteri Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam ketika hendak i‟tikaf, Beliau memerintahkan mereka untuk menjaga diri, lalu mereka mendirikan kemah di masjid, karena masjid dihadiri kaum lakilaki, dan itu lebih baik bagi mereka (kaum laki-laki) dan bagi wanita, sehingga kaum laki-laki tidak melihat mereka dan sebaliknya.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/125)

Keutamaannya
Tidak ada riwayat shahih yang mendefinitkan keutamaan I‟tikaf secara khusus. Namun,
adanya berita shahih bahwa nabi, para isterinya, dan para sahabat yang senantiasa
melakukannya setiap Ramadhan menunjukkan keutamaan I‟tikaf. Sebab, tidak mungkin mereka merutinkan amalan yang dianggap „biasa saja.‟
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis sbb:
“Berkata Abu Daud: Saya berkata kepada Ahmad Rahimahullah: “Apakah engkau mengatahui tentang keutamaan I‟tikaf?” Beliau berkata: “Tidak, kecuali suatu riwayat yang dhaif.” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Syarat-Syarat I’tikaf
Syarat bagi orang yang beri‟tikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. (Fiqhus Sunnah, 1/477)

Rukun-Rukun I’tikaf
Rukun-rukunnya: hakikat dari I‟tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta'ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut i‟tikaf . (Ibid)
Jadi, ada dua rukun: niat untuk ibadah dan menetap di masjid.

I’tikaf Wajib di Masjid
Di masjid adalah syarat sahnya I‟tikaf sesuai petunjuk Al Quran Al Baqarah ayat 187,
juga contoh dari sunah Rasululah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak
sah I‟tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah,kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa wanita I‟tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I‟tikaf di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu‟ah, 37/213)Dari penjelasan Al Hafizh, bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i‟tikaf di dalamnya:
1. Sahnya I‟tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat(Istilahnya: masjid jami‟). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll
2. I‟tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat.(istilahnya: masjid ghairu Jami‟ – surau), inilah pendapat, Syafi‟i, Daud, dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini, beliau menulis dalam Shahihnya: Bab I‟tikaf di 10 Hari terakhir dan I‟tikaf Masjid-Masjid Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)
3. I‟tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa.
Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu 'Anhu, ini yang nampak dari pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786. Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin.

Makna Masjid dan Batasannya
Ada pun yang menjadi batasan masjid telah terjadi perbedaan para ulama, namun pandangan yang lebih mengena adalah ruang apa pun yang padanya jamaah sudah layak melakukan shalat tahiyatul masjid, maka dia termasuk bagian masjid. Maka, taman masjid,parkiran, ruang perpustakaan, aula yang disewakan, bukanlah termasuk masjid walau mereka di lingkungan sekitar atau area masjid. Sebab, tempat-tempat ini tidak lazim digunakan untuk tahiyatul masjid, dan biasanya manusia tidak akan berfikir tahiyatul masjid di dalamnya. Sehingga jika mu‟takif (orang yang I‟tikaf) ke tempat-tempat ini tanpa hajat yang syar‟i, maka I‟tikafnya terputus.

'Ibrah dari I’tikaf
Pelajaran yang bisa kita petik dari I‟tikaf adalah:
- Menegaskan kembali posisi Masjid sebagai sentral pembinaan umat;
- Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta‟ala secara fokus dan totalitas;
- Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat.
Wallahu A‟lam wa ilaihi musytaka .... (abuhudzaifi)

Jumat, 20 Agustus 2010

Mengapa Berbeda

[bahasan utama di buletin dakwah Al-Ghanniy edisi 12]

Perbedaan dalam menetapkan hari jatuhnya ramadhan/lebaran memang sudah bisa diprediksi. Kejadian itu sudah berlangsung sejak lama dan akan selalu terus berulang setiap tahun.

Jauh-jauh hari PP Muhammadiyah memang telah menetapkan jatuhnya ramadhan/lebaran yang berbeda. Tentu saja semua itu diputuskan lewat mekanisme yang sudah ada sejak dahulu.
Untuk menetapkan awal ramadhan & 1 Syawal, Muhammadiyah menggunakan pendekatan wujudul hilal. Artinya, tidak hanya menggunakan mata kepala, tapi menggunakan ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu hisab.

Penyebab Berbeda-beda
Sebenarnya penyebab perbedaan karena ada beberapa dalil yang berbeda, atau satu dalil namun ditafsirkan secara berbeda. Sehingga umat mengenal setidaknya dua sistem, yaitu rukyatul hilal dan hisab.

Kedua metode ini seringkali melahirkan hasil yang berbeda dalam penetapan tanggal. Tapi yang lebih menarik, bahkan meski sama-sama menggunakan rukyatul hilal, hasilnya belum tentu sama. Demikian juga, meski sama-sama pakai hisab, hasil seringkali juga berbeda.

Perbedaan Antar Negara
Sudah sering terjadi bahwa umat Islam yang hidup di bawah berbagai macam pemerintahan, seringkali berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawwal.
Kewajaran itu lantaran masing-masing pemerintahan punya hak untuk menetapkannya, karena mereka memang berdiri sendiri dan tidak saling terikat. Sehingga amat wajar independensi otoritas penetapan jadwal puasa pun dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintahan. Maka wajar bila Mesir dan Saudi Arabia saling berbeda dalam menetapkan jadwal puasa dan lebaran.

Tetapi di dalam negeri masing-masing, umat Islam umumnya kompak. Sesama rakyat Mesir tidak pernah terjadi perbedaan. Demikian juga, sesama rakyat Saudi tidak pernah terjadi perbedaan.

Cuma Indonesia
Tetapi khusus untuk rakyat Indonesia, rupanya masing-masing elemen umat teramat kreatif. Cerita orang lebaran berbeda-beda tanggalnya memang hanya terjadi di dalam masyarakat kita saja. Entah apa sebabnya, mungkin karena kebanyakan jumlah rakyatnya, atau kebanyakan ormasnya, atau mungkin juga kelebihan pe-de nya.
Yang jelas, kita selalu menyaksikan masing-masing ormas seolah merasa punya hak otoritas menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal. Setidaknya untuk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di berbagai negeri Islam lainnya. Di sana, urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah. Masing-masing ormas tidak pernah merasa berhak untuk menetapkan sendiri.
Jadi cerita seperti ini memang lebih khas Indonesia.

Dan lebih lucu lagi, bukan hanya ormas yang sering tidak kompak dengan pemerintah, tetapi di dalam satu ormas pun terkadang sering terjadi tidak kompak juga. Misalnya, ketika DPP ormas tertentu mengatakan A, belum tentu DPW atau DPD dan DPC-nya bilang A. Masing-masing sturktur ke bawah kadang-kadang masih merasa lebih pintar untuk menetapkan sendiri jadwal puasa.

Selain itu, juga ada ormas yang selalu menginduk ke jadwal puasa di Saudi Arabia. Mau lebaran hari apa pun, pokoknya ikut Saudi. Bahkan mungkin karena saking semangat untuk ijtihad, ada ormas yang sampai menasehati pemerintah untuk tidak usah mencampuri masalah ini.

Semua pemandangan ini hanya terjadi di Indonesia, ya, sangat khas Indonesia. Dan ceritanya dari zaman nenek moyang sampai abad internet sekarang ini masih yang itu-itu juga. Pokoknya, Indonesia banget deh.

Kita Ikut Siapa Dong?
Sebenarnya apa pun yang dikatakan baik oleh NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya, semua tidak lepas dari ijtihad. Karena tidak ada nash baik Quran maupun hadits yang menyebutkan bahwa ramadhan & lebaran jatuh tanggal sekian.

Dan sebagai muslim, kita wajib menghormati berbagai ijtihad yang dilakukan oleh para ahlinya. Lepas dari apakah kita setuju dengan hasil ijtihad itu atau tidak.
Dan karena kita bukan ahli ru'yat, juga bukan ahli hisab, kita juga tidak punya ilmu apa-apa tentang masalah seperti itu, maka yang bisa kita lakukan adalah bertaqlid atau setidaknya berittiba' kepada ahlinya.

Kalau para ahlinya berbeda pendapat, 100% kita punya hak untuk memilih. Tidak ada satu pun ulama yang berhak untuk memaksakan kehendaknya, apalagi menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan hasil ijtihadnya. Toh kalau ijtihad itu benar, ulama itu akan dapat pahala. Sebaliknya kalau salah, beliau tidak berdosa, bahkan tetap dapat satu pahala.

Bersama Umat Islam
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Hadits ini rasanya agak cocok buat keadaan kita yang bukan ulama, bukan ahli ru'yat atau ahli hisab. Kita adalah para muqaalid dan muttabi'. Maka jadwal puasa kita mengikuti umat Islam umumnya di suatu negeri.

Kalau di Indonesia umumnya atau mayoritasnya lebaran hari Sabtu, ya kita tidak salah kalau ikut lebaran hari Sabtu, meski tetap menghormati mereka yang lebaran hari Jumat misalnya. Sebab lebaran di hari di mana umumnya umat Islam lebaran adalahhal paling mudah dan juga ada dalilnya serta tidak membebani.

Tapi kalau ternyata 50% ulama mengatakan lebaran jatuh hari Jumat dan 50% lagi mengatakan hari Sabtu, lalu mana yang kita pilih?

Jawabnya bahwa dalam hal ini syariah Islam memberikan kewenangan dan hak pada Pemerintah untuk menengahi perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebagaimana pemerintah berhak untuk menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali untuk menikah.
Bersama Pemerintah Islam

Jadi pemerinah resmi yang berkuasa diberikan wewenang dan otoritas untuk menetapkan jatuhnya puasa dan lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab dan ahli falak.

Kewenangan seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu banyak dalil yang menegaskan hal itu. Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan seperti ini serahkan saja kepada pemerintah yang sah. Kalau pun pemerintah itu salah secara sengaja dan berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yang tanggung.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
Beliau juga berkata mengutip hadits nabi SAW: “Tangan Allah SAW bersama Al-Jama’ah."
Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini oleh para ulama hingga sekarang ini. Salah satunya adalah arahan dan petunjuk dari Al-'Allamah Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata, “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing."

Wallahua’lam
riza.yusni