Sungguh menjadi kebanggaan dan kepuasan batin orang tua, ketika melihat anak-anak rajin datang ke masjid. Mereka adalah tunas-tunas yang akan menggantikan kita kelak, sehingga seandainya sejak anak-anak sudah mulai ditanamkan rajin sholat di masjid, insya Alloh kelak hatinya juga akan terpaut dengan masjid, yang merupakan salah satu dari golongan yang akan diselamatkan Alloh di hari Qiyamat nanti.
Islam menganjurkan agar anak-anak kita diajarkan sholat sejak usia 7 tahun. Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perintahkan anak-anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun. Dan pukullah pada usia 10 tahun. Dan pisahkan mereka (anak laki dan perempuan) pada tempat tidurnya." (HR Abu Daud)
Tentu ini dimaksudkan sebagai latihan agar kelak mereka akan lebih mudah dan terbiasa untuk menjalankan sholat lima waktu. Sebagaimana kita kita ketahui, bahwa sholat lima waktu sangat dianjurkan (sunnah mu’akkad) untuk dilaksanakan di masjid, bahkan ada yang mengatakan wajib hukumnya bagi laki-laki.
Banyaknya anak-anak yang sholat berjamaah dan mengaji di Masjid Al Ghaniy sungguh menjadi pemandangan yang sangat menyejukkan mata dan hati kita dikala orang tua mereka tidak bisa ikut berjamaah di masjid karena kesibukannya. Akan tetapi juga harus diperhatikan bahwa sholat di masjid memiliki adab dan etika yang harus dipatuhi oleh kita semua. Sudah menjadi watak dan kebiasaan anak-anak, pada waktu sholat mereka suka bersenda gurau dan sering berlari kesana-kemari, ngobrol, bahkan kadang menunda sholat saat Imam mulai sholat hanya untuk bermain air di tempat wudu dan sebagainya. Dan bila hal ini terus terjadi, tentu bisa mengganggu kekhusuan sholat berjamaah di masjid. Tanggung jawab siapakah ini? Tentu tanggung jawab kita bersama.
Memang benar bahwa cucu Nabi saw yaitu Hasan dan Husain pernah sesekali mengganggu sholat Nabi, tetapi itu bukan alasan untuk selalu membiarkan anak-anak kita beramai ria saat sholat sedang dilaksanakan tanpa kita berikan nasihat ataupun bimbingan. Dan tentu sesuatu yang juga salah, jika kita melarang anak-anak untuk ikut sholat berjamaah di Masjid, yang akan menjauhkan mereka dari sifat orang yang hatinya terpaut dengan Masjid.
Salah satu yang harus kita lakukan sebagai seorang bapak yang mampu meluangkan waktunya adalah marilah kita ajak dan dampingi anak kita ke masjid jangan sampai kita kalah oleh anak-anak yang masih lucu-lucu, dan harus senantiasa diingatkan agar mereka tidak mengganggu kekhusuan sholat jamaah, atau bagi kita yang tidak memiliki cukup waktu luang atau bagi ibu, untuk tetap mendukung anaknya ke masjid, dengan tidak lupa untuk terus mengingatkan dan menasehati, bahwa masjid bukanlah tempat untuk bermain dan bercanda serta mengikhlaskan anak-anak kita untuk dididik dan diingatkan kembali oleh jamaah yang kebetulan hadir di Masjid. Tidak lain dan tidak bukan, karena mereka yang ke masjid adalah anak-anak kita juga.
Semoga anak-anak kita menjadi generasi yang tidak lalai melaksanakan sholat, dan “qolbuhu mu’allaqun fil masaajid”, hatinya senantiasa teringat pada masjid. @amienz-red
TERBUKA DALAM PEMIKIRAN, CERDAS MENYIKAPI PERBEDAAN.... sebuah pilar dakwah, di RW.19 dan RW.22 Kelurahan Mustika Jaya Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi.
Senin, 27 Juni 2011
Sabtu, 29 Januari 2011
ekspansi kebaikan... [memakmurkan masjid kita]
Masjid kita semakin luas, mestinya jamaah juga semakin banyak.... terfikir untuk memetakan jama'ah berdasar semua segmen; agar bisa dikelola dengan lebih baik potensinya.
1. Bapak-bapak, [alhamdulillah sudah ada pengajian rutin di Blok A; dan akan segera dirutinkan di Blok F]
2. Ibu-ibu, sudah banyak majelis taklim... dan sudah cukup efektif.
3. Remaja, telah terbentuk RISMA - tinggal dibina.
4. Anak-anak, ustadz Ajad udah ngumpulin mereka rutin ba'da maghrib...
5. Lainnya: jamaah badminton [Tumiro], jamaah futsaler, jamaah fesbukiyah... dll
Jika bisa dibentuk penanggung jawab di masing-masing segmen, kita bisa evaluasi secara berkala. Targetnya tentu, setiap segmen itu menjadi selokan-selokan kecil yang bermuara di masjid tercinta kita "Masjid Al-Ghanniy".
Wallohu a'lam.
1. Bapak-bapak, [alhamdulillah sudah ada pengajian rutin di Blok A; dan akan segera dirutinkan di Blok F]
2. Ibu-ibu, sudah banyak majelis taklim... dan sudah cukup efektif.
3. Remaja, telah terbentuk RISMA - tinggal dibina.
4. Anak-anak, ustadz Ajad udah ngumpulin mereka rutin ba'da maghrib...
5. Lainnya: jamaah badminton [Tumiro], jamaah futsaler, jamaah fesbukiyah... dll
Jika bisa dibentuk penanggung jawab di masing-masing segmen, kita bisa evaluasi secara berkala. Targetnya tentu, setiap segmen itu menjadi selokan-selokan kecil yang bermuara di masjid tercinta kita "Masjid Al-Ghanniy".
Wallohu a'lam.
Jumat, 07 Januari 2011
Khoirunnasi anfa'uhum linnaas...
Diriwayatkan dari Jabir, Rosulillah bersabda,”Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seseorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”. (HR. Tabhrani dan Daruquthni. Dishahih kan al-Albani dalam “Ash-Shahihah”)
Rasanya kita semua yakin betul atas kebenaran hadits di atas. Namun terkadang kita masih terjebak dalam perasaan "sakit hati", atau "tersinggung" saat ada orang lain memanfaatkan kita. Lho, padahal dengan dimanfaatkan orang lain berarti kita menjadi semakin baik....
Terkadang kita berdalih bahwa, dimanfaatkan kan berbeda dengan bermanfaat... hehe, entah lah. Namun mungkin saja, berbagai permasalahan kita itu timbul dari rasa "berhitung" atas nilai manfaat kita terhadap orang lain. Contoh, saat kita menolong orang lain, dan orang yang kita tolong itu terlihat [terkesan] tidak berterima kasih terhadap kita... kita lalu sakit hati. Kita merasa, bahwa kita sedang dimanfaatin. Dan yang lebih parah, kita terjebak pada perasaan menyesal telah memberi pertolongan... hiks, na'udzubillahi min dzalik! bisa-bisa musnah sudah pahala yang perlahan-lahan kita kumpulkan, terserak, tersapu ombak "pamrih" yang didorong oleh penilaian terlalu tinggi terhadap diri kita. hiks!...
Jika mau berbincang lebih jauh, ternyata konsep berharap bermanfaat untuk orang lain, tanpa peduli penilaian orang lain terhadap diri kita inilah yang seringkali tanpa sengaja kita sebut sebagai "kepahlawanan". Dan kepahlawanan inilah yang diharapkan bisa menyelesaikan berbagai macam krisis yang melanda bangsa ini.
Terbayang jika, setiap kita sibuk lakukan sesuatu, dengan tidak berharap untuk dapatkan sesuatu [kecuali pahala tentunya, jika pahala masuk dalam batasan ini kita secara tidak langsung akan terbawa dalam pembahasan bab tasawuf]. Masyarakat yang terwujud adalah, masyarakat yang penuh pengorbanan, berlomba-lomba tunaikan kewajiban, dengan memberikan hak-hak orang lain. Tidak perlu lagi ada demonstrasi yang menuntut hak, karena seluruh hak telah terpenuhi, atau jika pun belum, masyarakat tersebut tidak fokus pada tuntutan hak, karena mereka fokus pada kewajiban, mereka fokus pada apa yang bisa dikorbankan, bukan fokus pada apa yang akan mereka dapatkan. Masyarakat dalam mimpiku ini selalu sibuk memikirkan kebutuhan orang lain, namun kebutuhan mereka pun terpenuhi oleh orang lain, karena mereka saling berbagi beban. hmmm.... indah sekali rasanya...
Rasanya kita semua yakin betul atas kebenaran hadits di atas. Namun terkadang kita masih terjebak dalam perasaan "sakit hati", atau "tersinggung" saat ada orang lain memanfaatkan kita. Lho, padahal dengan dimanfaatkan orang lain berarti kita menjadi semakin baik....
Terkadang kita berdalih bahwa, dimanfaatkan kan berbeda dengan bermanfaat... hehe, entah lah. Namun mungkin saja, berbagai permasalahan kita itu timbul dari rasa "berhitung" atas nilai manfaat kita terhadap orang lain. Contoh, saat kita menolong orang lain, dan orang yang kita tolong itu terlihat [terkesan] tidak berterima kasih terhadap kita... kita lalu sakit hati. Kita merasa, bahwa kita sedang dimanfaatin. Dan yang lebih parah, kita terjebak pada perasaan menyesal telah memberi pertolongan... hiks, na'udzubillahi min dzalik! bisa-bisa musnah sudah pahala yang perlahan-lahan kita kumpulkan, terserak, tersapu ombak "pamrih" yang didorong oleh penilaian terlalu tinggi terhadap diri kita. hiks!...
Jika mau berbincang lebih jauh, ternyata konsep berharap bermanfaat untuk orang lain, tanpa peduli penilaian orang lain terhadap diri kita inilah yang seringkali tanpa sengaja kita sebut sebagai "kepahlawanan". Dan kepahlawanan inilah yang diharapkan bisa menyelesaikan berbagai macam krisis yang melanda bangsa ini.
Terbayang jika, setiap kita sibuk lakukan sesuatu, dengan tidak berharap untuk dapatkan sesuatu [kecuali pahala tentunya, jika pahala masuk dalam batasan ini kita secara tidak langsung akan terbawa dalam pembahasan bab tasawuf]. Masyarakat yang terwujud adalah, masyarakat yang penuh pengorbanan, berlomba-lomba tunaikan kewajiban, dengan memberikan hak-hak orang lain. Tidak perlu lagi ada demonstrasi yang menuntut hak, karena seluruh hak telah terpenuhi, atau jika pun belum, masyarakat tersebut tidak fokus pada tuntutan hak, karena mereka fokus pada kewajiban, mereka fokus pada apa yang bisa dikorbankan, bukan fokus pada apa yang akan mereka dapatkan. Masyarakat dalam mimpiku ini selalu sibuk memikirkan kebutuhan orang lain, namun kebutuhan mereka pun terpenuhi oleh orang lain, karena mereka saling berbagi beban. hmmm.... indah sekali rasanya...
Langganan:
Postingan (Atom)