Jumat, 27 Agustus 2010

I'TIKAF (bahasan utama buletin terbaru kita)

Definisi
Secara Bahasa (Lughah): “mengikuti, mengiringi, membiasakan, menetapi (Lihat Imam
Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/244. Mawqi‟ Ruh Al Islam) Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: “I‟tikaf adalah menetapi sesuatu dan menutup diri, dalam hal baik atau buruk” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Secara Istilah (Syara‟): “menetap dalam rangka taat secara khusus dengan syarat khusus pula” (Fathl Qadir, 1/245). Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: Yang dimaksud I‟tikaf di sini adalah menetapi masjid dan menegakkan shalat di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah „Azza wa Jalla. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Dasar Hukum
- Al Quran ; “Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I‟tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)
- As Sunnah ; Dari „Aisyah Radiallahu „Anha: “Bahwasanya Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam beri‟tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I‟tikaf setelah itu”(HR. Bukhari dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu „Anhu, katanya : “Dahulu Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam I‟tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I‟tikaf 20 hari”(HR. Bukhari No. 694 dan lainnya)
- Ijma‟ ; Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma‟ tentang syariat I‟tikaf:
“Ulama telah ijma‟ bahwa I‟tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam beri‟tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat”. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Hukumnya
Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I‟tikaf karena nazar. Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan : “Telah terjadi ijma‟ bahwa I‟tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid”. (Fathul Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri‟tikaf, maka wajib baginya beri‟tikaf.
Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan :” Dalam shahih Bukhari disebutkan “Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah,1/475)

I’tikaf Kaum Wanita
Dari „Aisyah Radiallahu „Anha : “Bahwasanya Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam beri‟tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I‟tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026 dan lainnya) Syaikh Al Albani Rahimahullah mengomentari hadits ini : “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya I‟tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil maslahat. (Maktabah Islamiyah)
Selain itu, hendaknya wanita I‟tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi mereka.
Berkata Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
“Jika wanita I‟tikaf di masjid, dianjurkan dia membuat penutup dengan sesuatu, karena
para isteri Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam ketika hendak i‟tikaf, Beliau memerintahkan mereka untuk menjaga diri, lalu mereka mendirikan kemah di masjid, karena masjid dihadiri kaum lakilaki, dan itu lebih baik bagi mereka (kaum laki-laki) dan bagi wanita, sehingga kaum laki-laki tidak melihat mereka dan sebaliknya.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/125)

Keutamaannya
Tidak ada riwayat shahih yang mendefinitkan keutamaan I‟tikaf secara khusus. Namun,
adanya berita shahih bahwa nabi, para isterinya, dan para sahabat yang senantiasa
melakukannya setiap Ramadhan menunjukkan keutamaan I‟tikaf. Sebab, tidak mungkin mereka merutinkan amalan yang dianggap „biasa saja.‟
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis sbb:
“Berkata Abu Daud: Saya berkata kepada Ahmad Rahimahullah: “Apakah engkau mengatahui tentang keutamaan I‟tikaf?” Beliau berkata: “Tidak, kecuali suatu riwayat yang dhaif.” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

Syarat-Syarat I’tikaf
Syarat bagi orang yang beri‟tikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. (Fiqhus Sunnah, 1/477)

Rukun-Rukun I’tikaf
Rukun-rukunnya: hakikat dari I‟tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta'ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut i‟tikaf . (Ibid)
Jadi, ada dua rukun: niat untuk ibadah dan menetap di masjid.

I’tikaf Wajib di Masjid
Di masjid adalah syarat sahnya I‟tikaf sesuai petunjuk Al Quran Al Baqarah ayat 187,
juga contoh dari sunah Rasululah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak
sah I‟tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah,kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa wanita I‟tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I‟tikaf di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu‟ah, 37/213)Dari penjelasan Al Hafizh, bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i‟tikaf di dalamnya:
1. Sahnya I‟tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat(Istilahnya: masjid jami‟). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll
2. I‟tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat.(istilahnya: masjid ghairu Jami‟ – surau), inilah pendapat, Syafi‟i, Daud, dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini, beliau menulis dalam Shahihnya: Bab I‟tikaf di 10 Hari terakhir dan I‟tikaf Masjid-Masjid Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)
3. I‟tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa.
Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu 'Anhu, ini yang nampak dari pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786. Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin.

Makna Masjid dan Batasannya
Ada pun yang menjadi batasan masjid telah terjadi perbedaan para ulama, namun pandangan yang lebih mengena adalah ruang apa pun yang padanya jamaah sudah layak melakukan shalat tahiyatul masjid, maka dia termasuk bagian masjid. Maka, taman masjid,parkiran, ruang perpustakaan, aula yang disewakan, bukanlah termasuk masjid walau mereka di lingkungan sekitar atau area masjid. Sebab, tempat-tempat ini tidak lazim digunakan untuk tahiyatul masjid, dan biasanya manusia tidak akan berfikir tahiyatul masjid di dalamnya. Sehingga jika mu‟takif (orang yang I‟tikaf) ke tempat-tempat ini tanpa hajat yang syar‟i, maka I‟tikafnya terputus.

'Ibrah dari I’tikaf
Pelajaran yang bisa kita petik dari I‟tikaf adalah:
- Menegaskan kembali posisi Masjid sebagai sentral pembinaan umat;
- Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta‟ala secara fokus dan totalitas;
- Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat.
Wallahu A‟lam wa ilaihi musytaka .... (abuhudzaifi)

Jumat, 20 Agustus 2010

Mengapa Berbeda

[bahasan utama di buletin dakwah Al-Ghanniy edisi 12]

Perbedaan dalam menetapkan hari jatuhnya ramadhan/lebaran memang sudah bisa diprediksi. Kejadian itu sudah berlangsung sejak lama dan akan selalu terus berulang setiap tahun.

Jauh-jauh hari PP Muhammadiyah memang telah menetapkan jatuhnya ramadhan/lebaran yang berbeda. Tentu saja semua itu diputuskan lewat mekanisme yang sudah ada sejak dahulu.
Untuk menetapkan awal ramadhan & 1 Syawal, Muhammadiyah menggunakan pendekatan wujudul hilal. Artinya, tidak hanya menggunakan mata kepala, tapi menggunakan ilmu pengetahuan yang disebut dengan ilmu hisab.

Penyebab Berbeda-beda
Sebenarnya penyebab perbedaan karena ada beberapa dalil yang berbeda, atau satu dalil namun ditafsirkan secara berbeda. Sehingga umat mengenal setidaknya dua sistem, yaitu rukyatul hilal dan hisab.

Kedua metode ini seringkali melahirkan hasil yang berbeda dalam penetapan tanggal. Tapi yang lebih menarik, bahkan meski sama-sama menggunakan rukyatul hilal, hasilnya belum tentu sama. Demikian juga, meski sama-sama pakai hisab, hasil seringkali juga berbeda.

Perbedaan Antar Negara
Sudah sering terjadi bahwa umat Islam yang hidup di bawah berbagai macam pemerintahan, seringkali berbeda dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawwal.
Kewajaran itu lantaran masing-masing pemerintahan punya hak untuk menetapkannya, karena mereka memang berdiri sendiri dan tidak saling terikat. Sehingga amat wajar independensi otoritas penetapan jadwal puasa pun dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing pemerintahan. Maka wajar bila Mesir dan Saudi Arabia saling berbeda dalam menetapkan jadwal puasa dan lebaran.

Tetapi di dalam negeri masing-masing, umat Islam umumnya kompak. Sesama rakyat Mesir tidak pernah terjadi perbedaan. Demikian juga, sesama rakyat Saudi tidak pernah terjadi perbedaan.

Cuma Indonesia
Tetapi khusus untuk rakyat Indonesia, rupanya masing-masing elemen umat teramat kreatif. Cerita orang lebaran berbeda-beda tanggalnya memang hanya terjadi di dalam masyarakat kita saja. Entah apa sebabnya, mungkin karena kebanyakan jumlah rakyatnya, atau kebanyakan ormasnya, atau mungkin juga kelebihan pe-de nya.
Yang jelas, kita selalu menyaksikan masing-masing ormas seolah merasa punya hak otoritas menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan tanggal 1 Syawal. Setidaknya untuk konstituen mereka sendiri. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di berbagai negeri Islam lainnya. Di sana, urusan penetapan seperti itu 100% diserahkan pemerintah. Masing-masing ormas tidak pernah merasa berhak untuk menetapkan sendiri.
Jadi cerita seperti ini memang lebih khas Indonesia.

Dan lebih lucu lagi, bukan hanya ormas yang sering tidak kompak dengan pemerintah, tetapi di dalam satu ormas pun terkadang sering terjadi tidak kompak juga. Misalnya, ketika DPP ormas tertentu mengatakan A, belum tentu DPW atau DPD dan DPC-nya bilang A. Masing-masing sturktur ke bawah kadang-kadang masih merasa lebih pintar untuk menetapkan sendiri jadwal puasa.

Selain itu, juga ada ormas yang selalu menginduk ke jadwal puasa di Saudi Arabia. Mau lebaran hari apa pun, pokoknya ikut Saudi. Bahkan mungkin karena saking semangat untuk ijtihad, ada ormas yang sampai menasehati pemerintah untuk tidak usah mencampuri masalah ini.

Semua pemandangan ini hanya terjadi di Indonesia, ya, sangat khas Indonesia. Dan ceritanya dari zaman nenek moyang sampai abad internet sekarang ini masih yang itu-itu juga. Pokoknya, Indonesia banget deh.

Kita Ikut Siapa Dong?
Sebenarnya apa pun yang dikatakan baik oleh NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya, semua tidak lepas dari ijtihad. Karena tidak ada nash baik Quran maupun hadits yang menyebutkan bahwa ramadhan & lebaran jatuh tanggal sekian.

Dan sebagai muslim, kita wajib menghormati berbagai ijtihad yang dilakukan oleh para ahlinya. Lepas dari apakah kita setuju dengan hasil ijtihad itu atau tidak.
Dan karena kita bukan ahli ru'yat, juga bukan ahli hisab, kita juga tidak punya ilmu apa-apa tentang masalah seperti itu, maka yang bisa kita lakukan adalah bertaqlid atau setidaknya berittiba' kepada ahlinya.

Kalau para ahlinya berbeda pendapat, 100% kita punya hak untuk memilih. Tidak ada satu pun ulama yang berhak untuk memaksakan kehendaknya, apalagi menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan hasil ijtihadnya. Toh kalau ijtihad itu benar, ulama itu akan dapat pahala. Sebaliknya kalau salah, beliau tidak berdosa, bahkan tetap dapat satu pahala.

Bersama Umat Islam
“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Hadits ini rasanya agak cocok buat keadaan kita yang bukan ulama, bukan ahli ru'yat atau ahli hisab. Kita adalah para muqaalid dan muttabi'. Maka jadwal puasa kita mengikuti umat Islam umumnya di suatu negeri.

Kalau di Indonesia umumnya atau mayoritasnya lebaran hari Sabtu, ya kita tidak salah kalau ikut lebaran hari Sabtu, meski tetap menghormati mereka yang lebaran hari Jumat misalnya. Sebab lebaran di hari di mana umumnya umat Islam lebaran adalahhal paling mudah dan juga ada dalilnya serta tidak membebani.

Tapi kalau ternyata 50% ulama mengatakan lebaran jatuh hari Jumat dan 50% lagi mengatakan hari Sabtu, lalu mana yang kita pilih?

Jawabnya bahwa dalam hal ini syariah Islam memberikan kewenangan dan hak pada Pemerintah untuk menengahi perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebagaimana pemerintah berhak untuk menjadi wali atas wanita yang tidak punya wali untuk menikah.
Bersama Pemerintah Islam

Jadi pemerinah resmi yang berkuasa diberikan wewenang dan otoritas untuk menetapkan jatuhnya puasa dan lebaran, di tengah perbedaan pendapat dari para ahli ilmu, ahli hisab dan ahli falak.

Kewenangan seperti ini bukan tanpa dalil, justru kita menemukan begitu banyak dalil yang menegaskan hal itu. Bahkan para ulama sejak dulu telah menyatakan bahwa urusan seperti ini serahkan saja kepada pemerintah yang sah. Kalau pun pemerintah itu salah secara sengaja dan berbohong misalnya, maka dosanya kan mereka yang tanggung.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.”
Beliau juga berkata mengutip hadits nabi SAW: “Tangan Allah SAW bersama Al-Jama’ah."
Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal kemudian diamini oleh para ulama hingga sekarang ini. Salah satunya adalah arahan dan petunjuk dari Al-'Allamah Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata, “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing."

Wallahua’lam
riza.yusni

Senin, 16 Agustus 2010

ceramah tarawih di malam 17-an: Pidato Renungan Kemerdekaan [Presiden DKM Al-Ghanniy]


Apakah kita sudah merdeka? Secara politis: "iya". Namun secara ekonomi maupun kultural, kita belum merdeka.

Ada tiga "is" yang harus kita renungkan dalam mengisi kemerdekaan:

(1)Istigfar;evaluasi diri,mungkin secara nasional kita banyak melakukan kesalahan. Sehingga bencana datang silih berganti. Ini adalah teguran Allah, kepada suatu bangsa muslim terbesar, namun masuk dalam lima besar negara-negara terkorup di dunia.

(2)Istiqomah;teguh pendirian. "Sebagaimana firman Allah Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialahAllah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya;sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan".(QS 46:13-14)

(3)Isti'anah:mohon pertolongan kepada Allah. Disamping kita berusaha mengisi kemerdekaan tetapi kita juga senantiasa mohon pertolongan kepada Allah.

[nukilan dari ceramah tarawih, sekaligus pidato resmi presiden DKM Al-Ghanniy, Amin Mansyur; menyambut peringatan hari kemerdekaan RI]

Senin, 02 Agustus 2010

bukan hanya uang, keringat, bahkan darah pun mengalir untuk Al-Ghanniy

Hari Ahad, tanggal 1 Agustus 2010, adalah awal bulan Agustus yang indah.

Di Perum Bumyagara dan Graha Harapan, khususnya di blok F dan blok A, ada aktifitas yang menarik. Diawali perbincangan di Lapangan Voli Blok F [yang menjadi tempat solat berjamaah pengganti, selama Masjid Al-Ghanniy direnovasi] ba'da Sholat Shubuh, dan pak Enda -ketua pembangunan masjid Al-Ghanniy- mengumumkan rencana kerja bakti untuk para jama'ah Masjid Al-Ghanniy di pukul 07.00 pagi. Lalu kesibukan itu pun di mulai, bapak-bapak dan anak-anak laki2 bersama bersihkan puing2 bangunan masjid lama, sedangkan ibu-ibunya sibuk bersiap sajikan minuman dan makanan kecil. Hasilnya, menjadi menu yang cukup beragam. Ada kopi, teh panas, sirup dingin, juga aqua gelas; makanannya juga seru: pisang goreng, pisang molen, tempe, tahu dan aneka gorengan lainnya....

Dengan peralatan seadanya, para jamaah membongkar tembok masjid lama. Memang sejak awal sudah ada kekhawatiran akan terjadi kecelakaan kerja, karena memang prosedur standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) banyak yang dilanggar. Dan kekhawatiran tersebut terbukti, saat kaki pak Wahid tertimpa puing. Demikian juga pak Buhori, hingga menghasilkan 4 jahitan di kepala, lalu mas didi f 10a , tertusuk paku cukup dalam;pak Agus f 7 juga kena paku dan jamaah lainnya yg mungkin terkena "kecelakaan kecil" lainnya seperti pak enda dan pak suryanto .. :)insyaalloh menjadi saksi ... alhamdulillah semua kejadian tersebut cepat mendapat penanganan medik yang memadai.

Ternyata memang bukan hanya uang, keringat, bahkan darah pun mengalir untuk Al-Ghanniy. Alloh pasti Melihat kesungguhan jama'ah, dalam membuktikan "rasa memiliki" masjid tercinta "Al-Ghanniy". Karena semua berharap, ibadah di bulan Ramadhan tahun ini dapat dijalani di bangunan baru masjid ini.... semoga.

Perjuangan memang belum selesai, masih perlu banyak dana, tenaga, juga perhatian yang besar dari kita semua, agar pembangunan masjid Al-Ghanniy ini dapat terus dilanjutkan. Tetap Semangat, Alloh pasti Bersama Kita....